Krisis yang dihadapi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memaksa perusahaan plat merah itu untuk merumahkan sebagian karyawannya hingga memensiunkan dini mereka. Mantan Komisaris Independen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Yenny Wahid menegaskan pengurangan karyawan itu tentu berpengaruh kepada kondisi keuangan dan beban yang ditanggung Garuda. Hanya saja, Yenny melihat aset paling berharga dari Garuda sendiri justru adalah para manusianya atau karyawan yang mengabdi, bukan pesawatnya.
Yenny merujuk kepada pengakuan beberapa awak kabin yang rela dirumahkan dan tidak digaji demi Garuda tetap mengudara. Menurutnya kecintaan mereka membuktikan mereka adalah aset berharga Garuda. "Pengorbanan mereka luar biasa. Mereka bilang apa yang bisa dilakukan untuk membuat Garuda Indonesia tetap bertahan. Gaji mereka sebetulnya tidak tinggi tinggi sekali, tapi demi kecintaan pada Garuda mereka bahkan mau berkorban," katanya. "Dirumahkan tidak apa apa, tidak digaji tidak apa apa. Asal Garuda bisa terbang dan suatu saat kami bisa terbang lagi bersama Garuda. Saya sampai mau nangis kalau dengar cerita mereka. Nah mereka ini yang harus kita selamatkan," imbuh Yenny.
Apapun yang bisa dilakukan untuk memperkecil biaya pasti ada pengaruhnya, apalagi kalau dilakukan dalam jumlah banyak. Jadi human resources Garuda itu jauh melampaui kebutuhannya, ini faktanya. Ada terlalu banyak kita punya karyawan. Kemudian saya memutuskan untuk mengundurkan diri salah satunya adalah untuk menjadi simbol. 'Masa kita minta orang mundur, masa kita sendiri nggak mundur', kan nggak lucu. Ya kita sama samalah berkorban untuk Garuda. Kira kira begitu salah satu pemantik kenapa saya mengundurkan diri. Dan memang setelah saya mundur, jumlah komisaris kan memang dikurangi dari lima menjadi tiga. Ini lebih bagus untuk Garuda di masa pandemi ini, nanti kalau uangnya sudah banyak, pesawatnya sudah banyak, rutenya sudah bertambah lalu kemudian jumlah penumpang bertambah maka bisa dipanggil ulang, jadi karyawan juga bisa banyak lagi. Tapi ketika krisis seperti ini, ibaratnya di rumah tangga kita biasa punya asisten rumah tangga lima misalnya, tahu tahu bapaknya di PHK. Nggak bisa menggaji lagi sebanyak itu, ya otomatis semua anggota keluarga harus ikut turun tangan, ibunya masak, bapaknya cuci piring, anaknya ikut nyapu dan sebagainya. Biaya kan harus dikecilkan, namanya suasana prihatin. Nanti kalau bapaknya dapat jabatan lagi ya boleh mau menggaji 9,10 hingga 18 orang ya monggo saja.
Komisaris yang mundur kan bukan cuma saya, direksi juga dikurangi. Saya tidak punya keleluasan untuk mendisclose standar salary orang lain, jadi bukan privillege saya untuk mengungkap itu. Tapi bisa dilihat dari laporan keuangan Garuda nantinya ketika sudah disclose ke publik tiap RUPS, kan disitu ada cost untuk human resources berapa dan bisa dilihat disitu semua. Standar menurut saya, kalau buat saya pribadi ya. Mungkin kalau untuk rata rata orang Indonesia cukup tinggi. Jadi buat saya sih sebetulnya tergantung ya, tergantung perusahaannya sih. Saya memang duduk di beberapa perusahaan sebelum Garuda juga, jadi ya cukup mengerti standarnya berapa. Standarnya juga beda beda, Komisaris Utama, independen, direksi, direktur beda semua. Yang paling penting itu bahwa semua akan punya kontribusi walaupun kecil untuk pengurangan biaya, karena dalam cost structure kita untuk biaya pegawai itu sekitar 20 juta dolar AS per bulan. Cost terbesar tetap dari leasing, makanya ini yang harus dikejar. Leasing itu kita pernah sampai 75 juta dolar AS per bulan. Nah sekarang sebetulnya ketika kita melakukan renegosiasi terus menerus, kita sudah bikin blueprint seperti apa, restrukturisasi harus seperti apa, revitalisasinya di bidang apa saja. Kalau plan itu dijalankan maka sebenarnya Garuda kansnya cukup besar untuk tetap mengudara. Harus kita bantu, kita pertahankan untuk tetap mengudara.
Waktu saya masih disana, kita berhasil menghemat untuk leasing costnya aja itu sekitar 200 miliaran sebulan, lebih dari itu malah. Itu hanya untuk biaya sewa. Cost untuk pegawai juga turun banyak waktu itu, beberapa juta dolar juga. Memang ada tunjangan tunjangan yang seharusnya tidak bisa dialihkan dahulu itu sebetulnya bisa tidak dilakukan sekarang, menunggu sampai Garuda bisa lebih sehat lagi, ini sedang kita push. Salah satu hal yang kemarin saya minta fokus itu saya minta ada migrasi sistem IT kita. Karena sistem IT Garuda menurut saya masih terlalu mahal, dan ini hubungannya sama passenger service system kita. Jadi kita memakai sistem IT yang namanya Global Distribution System (GDS) itu agak mahal sewanya. Padahal banyak airlines lain yang sudah mulai beralih sistemnya menuju sistem baru yang lebih efisien dan lebih memberikan proteksi data pelanggan dan data pelanggan menjadi milik data airlines, itu namanya New Distribution Capability (NDC). Itu saya lakukan push memang, kalau bisa diubah, migrasinya berhasil. Itu penghematannya bisa satu triliun setahun. Lumayan banget kan satu triliun setahun. Beli bakso ya tiga lapangan penuh. Ini kan karena pandemi Covid 19. Awalnya tidak seperti ini. Jadi perusahaan tidak ada pemasukan. Belum biaya sewa, biaya maintenance itu juga tinggi sekitar Rp15 juta per bulan. Kalau terbang pilot cost juga tinggi, kemudian biaya avtur. Ini penuh atau tidak avtur kan harus tetap full. Bayangkan segala macam biaya fixed cost kita tetap harus tetap operasional dengan segala macam keterbatasan.
Airlines di masa pandemi hanya punya dua opsi, dibiarkan mati atau dibantu pemerintah. Hanya itu aja. Tahun 2021 saja sudah 10 airlines seluruh dunia tutup karena pandemi. Kalau mau dibantu ya harus disuntik dana. Yang menarik Singapore Airlines dibantu 11 miliar dolar AS oleh pemerintahnya. Qatar Airways lebih dari lebih dari 2 miliar dolar AS. Emirates 2 3 miliar dolar AS. Jadi ini angkanya cukup tinggi. Sementara Garuda pernah diketuk di DPR juga kita pernah mengajukan bantuan dalam bentuk MCB (mandatory convertible bond) atau obligasi wajib konversi sebesar 500 juta dolar. Memang sangat jauh sekali dibandingkan Singapore Airlines. Garuda diketuknya Rp8,5 trliun turunnya Rp1 triliun. Ya sudah habis dalam sebulan. Penyuntikan domainnya pemerintah. Saya sekarang sebagai warga biasa tentu penyuntikan harus dibarengi komitmen dari manajemen untuk melakukan apa yang terbaik untuk perusahaan. Nah itu komitmen harus jalan. Langkah langkah ini harus dilakukan semua. kita restrukturisasi negosiasi dengan lessor kemudian kita sendiri juga harus menelan pil pahit. Karena meminta penghapusan utang kita harus mengubah gaya hidup.
Yang saya lakukan bagian dari simbolisasi kepada lessor bahwa kita melakukan upaya pembenahan. Salah satu hal yang kita lakukan mengubah struktur leasing, jadi sistemnya. Kalau dulu bulanan sistem hitungnya, sekarang di boost sistemnya menjadi power by the hours, menjadi per jam. Kalau kita pakai 5 jam ya berarti hanya bayar lima jam sesuai dari durasi pemakaian. Lessornya mau tidak? Ya alot. Tapi kita terus mencoba. Ini contoh yang dilakukan. Pandemi Covid 19 menjadi momentum yang tepat karena kalau Garuda sampai pailit mereka tidak akan dapat apa apa. Kita harus sampai kesadaran menyelamatkan bersama sama. Menyelamatkan Garuda Indonesia bisa dilakukan kalau kita mau berkorban. Pemerintah juga harus berkorban. Saya agak tersinggung kalau dibilang bumper politik. Itu mengasumsikan saya orang yang tidak bisa kerja. Saya menganggap diri saya cukup profesional, latar belakang saya, track record saya sebetulnya cukup ada jejak di korporasi.
Kalau bumper politik seperti hanya duduk sebagai pemanis. Saya pribadi tidak tahu kenapa saya diangkat. Saya tidak bisa menebak hatinya Pak Erick Thohir. Itu yang beliau meminta untuk melakukan pembenahan. Jadi saya masuk memang ada kendala skandal awak kabin yang menyita perhatian masyarakat. Itu segera saya bereskan. Saya pompa kembali semangatnya awak kabin sehingga kita bisa memberikan pelayanan yang baik. Dan kita berjuang bisa menyabet gelar the best cabin in the world. Karena Garuda lima tahun berturut turut menyabet gelar awak kabin terbaik di dunia. Kita punya kemampuan itu. Jadi saya bekerjasama dengan mereka. Pengorbanan mereka luar biasa. Mereka bilang apa yang bisa dilakukan untuk membuat Garuda Indonesia tetap bertahan. Gaji mereka sebetulnya tidak tinggi tinggi sekali tapi demi kecintaan pada Garuda mereka bahkan mau berkorban. Dirumahkan tidak apa apa tidak digaji tidak apa apa. Asal Garuda bisa terbang dan suatu saat kami bisa terbang lagi bersama Garuda. Saya sampai mau nangis kalau dengar cerita mereka.
Nah ini yang harus kita selamatkan. Menurut saya aset aset paling berharga dari Garuda bukan pesawatnya, aset paling berharga dari Garuda adalah manusia manusianya, awak kabinnya, pilot pilotnya. Kembali lagi kita harus mengubah gaya hidup. Awak kabin Garuda adalah contohnya. Saya sendiri juga mundur karena merasa malu juga nih kalau awak kabin saja mau berkorban, masa saya nggak berani berkorban. Penumpang masuk ke Indonesia memang kurang lebih banyak kita membawa penumpang ke luar negeri. Jadi ini problemnya banyak rute kita merugi karena baliknya tidak ada penumpang padahal berangkatnya penuh sementara costnya sama. Jadi ada beberapa rute internasional yang perlu di streamline atau dikaji ulang apakah dia cukup menguntungkan atau tidak. Ini sedang dilakukan juga. Jadi kita tidak bisa melakukan hanya semata mata hanya karena kebangaan dan keinginan saja. Ini bisa sustainable dan menguntungkan atau tidak. Banyak rute yang tidak untung seperti rute London tersebut.
Ke depan harus diubah model bisnisnya. Kita harus melakukan code sharing. Jadi ada airlines yg menguasai rute rute tertentu kita menjadi mitra mereka untuk menerbangkan. Misalnya kita partneran misalnya dengan Delta Airlines atau United Airlines. Kita bisa terbang let say dari Jakarta ke Tokyo. Bisa juga kita kerjasama dengan Emirates sampai Dubai. Banyak sih, manajemen Garuda baik baik. Kita kerjanya terus terang kerjanya berat sekali. Sampai suami saya bilang serius amat ngurus Garuda. Rapat terus setiap hari. Kenangan lucu zoom meeting dengan komisaris, atasannya sih rapih tetapi waktu ngambil kopi kelihatan pakai celana pendek. Keakraban di antara kita. Kita merasa punya passion yang sama. Stressnya luar biasa. Tetapi saya juga sedih meninggalkan Garuda. *Boleh disampaikan closing statement harapan terhadap Garuda dan menanggapi hasil RUPST?*
Target bisnis sudah jelas kita sudah tahu semua. EBITDA harus positif, load factor harus dinaikkan kalau bisa syukur syukur 80 persen. Optimize pricingnya juga harus pas sesuai pasar. Fixed cost sudah jelas harus diturunkan. Power by the hours harus dikejar. Lalu kemudian finalisasi strategi human resourcesnya mau seperti apa. Lalu renegosiasi lessornya harus diuber lagi. Ini semua membutuhkan pengorbanan. Saya rasa harus dikuatkan terus. Lalu migrasi sistem IT saya ingatkan karena kalau pakai sistem lama kita tidak efisien. Semua butuh waktu saya tahu. Walaupun dari luar saya tetap ingatkan teman teman lah. Saya akan tetap available membantu lewat pikiran pikiran saya.